Untuk mengenal suatu negeri, kita harus berinteraksi langsung dengan masyarakat dan alamnya. Percuma saja melihat dunia dari balik jendela mobil.” —Albert Einstein
Ternyata kereta antar provinsi untuk kelas II jauh lebih “beradab” daripada kereta kelas I. Padahal harga kereta kelas II hampir separuh lebih murah ketimbang harga kereta kelas I.
Jubnah adalah keju khas Mesir. Rasanya masam mirip yoghurt tanpa gula atau pemanis. Bentuknya kotak seperti tahu dan lembek. Ada juga yang berwarna kecoklatan. Harga persatunya tak sampai EGP 1,00. 17 Teh manis khas Mesir ini direkomendasikan untuk diminum ketika panas atau hangat. Harga per cangkirnya sekitar 0,5 pound atau lebih sedikit jika di restoran.
adalah makanan pokok warga Mesir. Bentuknya bundar pipih terbuat dari gandum, dimakan dengan cara disobek. Sedangkan ‘isy balady adalah ‘isy lokal dan paling murah yang harganya berkisar tak sampai EGP 0,25 per satunya.
Makanan di Mesir memang kurang cocok dengan lidah nusantara. Perlu waktu untuk beradaptasi. Bahkan, jamaah seperti mereka tak hanya dihadapkan dengan cita rasanya, tetapi juga dengan harga makanan yang bisa tiba-tiba meroket enggak kira-kira.
Assalamu ‘alaikum! Apa kabar kalian, tuan-tuan?” Kata “Gada‘an” berarti “orang-orang hebat”. Kata ini dipakai dalam kalimat sapaan dalam situasi santai dan akrab atau untuk mengakrabkan diri
saya berkunjung ke Valley of The Kings, saya baru saja berkunjung ke kediaman Grand Syaikh Ahmad Thayyeb di kawasan bernama El Gournah, Luxor. El Gournah menurut penduduk setempat berarti sepasang tanduk yang berada di atas mahkota penguasa Mesir zaman dahulu kala.
Dalam dialek Mesir ada beberapa pelafalan huruf yang tertukar. Misalnya, J dibaca G, P dibaca B, Q dibaca A dan lain sebagainya, tanpa mengurangi makna kata itu sendiri.
Oh, boleh! Silakan saja kalau mau berfoto.” Saya menceritakan pengalaman dimarahi oleh seorang laki-laki pribumi tadi kepadanya. Daktur bercerita bahwa masyarakat di Batalyon memang agak trauma dengan kamera. Dulu pernah ada turis Eropa yang mengambil foto-foto di Batalyon dan memuat foto-foto itu dalam sebuah majalah dengan narasi yang tidak mengenakkan hati mereka sebagai penduduk pribumi