id
Bücher
Ammy Ramdhania,Anna Farida

A Ling, Oh, A Ling

125 Druckseiten
Copyright-Inhaber
Mizan
Haben Sie es bereits gelesen? Was halten sie davon?
👍👎

Zitate

  • b9356465824hat Zitat gemachtvor 9 Jahren
    Bunga striped beauty canna masih satu famili dengan Apocynaceae.
    Warnanya kuning cerah dengan garis-garis putih.
    Bunga kana jenis ini tumbuh liar di daerah tropis Benua Amerika, misalnya Brazil.
    Bunga kana ternyata punya banyak jenis dengan warna yang beragam pula. Beberapa di antaranya dimanfaatkan sebagai penghasil zat tepung. Umbinya digunakan sebagai penyejuk, pereda demam, peluruh kencing, penenang, dan menurunkan tekanan darah. Wah, banyak sekali khasiatnya.
    Nah, tahukah kamu bunga apa lagi yang punya banyak manfaat seperti bunga kana?
    ..............................................................
    ................................................................
    .............................................................
    Ada satu lagi pekerjaan yang rutin mereka lakukan dan sangat mereka benci. Pekerjaan itu adalah mengambil kapur! Sekali atau dua kali memang sangat asyik. Mereka bisa berwisata ke kota naik sepeda. Kemudian, setelah bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, mengambil kapur menjadi pekerjaan yang sangat menjengkelkan. Semua anak yang dapat giliran membeli kapur selalu mengalami hal-hal yang sangat menyebalkan!
    Akan tetapi, tugas itu tetap tak bisa dihindari.

    Hari ini Bu Mus benar-benar kehabisan kapur tulis.
    “Yahhh ... habis lagi?”
    Bu Mus heran. Dia masih terus mencari ke dalam lemari.
    “Bunda Guru cari apa?” tanya Sahara. “Kapur, Nak. Kapur kita sudah habis. Rasanya Bunda masih punya tiga batang,” sahut Bu Mus.
    Hari ini mereka akan belajar Matematika. Repot sekali kalau tidak ada kapur tulis.
    “Kita mau menulis pakai apa?” seru Sahara.
    Teman-temannya saling pandang.
    Pojok Aktivitas
    Kapur tulis habis, justru ketika Bu Mus hendak mengajar Matematika.
    Apakah kamu punya ide lain? Bagaimana cara belajar Matematika tanpa menggunakan alat tulis?
    ..............................................................................................................................................
    ...............................................................................................................................................
    ................................................................................................................................................
    “Siapa piket hari ini, Cai?”
    “Ikal dan Syahdan, Ibunda,” jawab Kucai.
    Hah? Ikal langsung memasang “wajah perang.” Syahdan hanya terdiam. Jarak pasar dan sekolah mereka jauh sekali.

    “Nah, Syahdan dan Ikal! Temui Ayahanda Guru sebelum berangkat nanti, ya,” lanjut Bu Mus.
    Tak ada alasan lagi. Mereka tetap harus pergi!
    Waktu istirahat tiba.
    Di bawah pohon filicium yang rindang anak-anak berkumpul.
    Tiba-tiba, Harun menemukan sebongkah kecil kayu yang hitam bekas terbakar. Arang namanya. Dengan lambat, tangan Harun menggores-goreskan arang di tangannya pada akar pohon.
    “Haaa, haaa,” Harun berteriak senang.
    Ikal tertarik.

    “Wah, Harun hebat. Lihat! Harun hebat,” teriak Ikal. Semua anak tertarik untuk melihat. Harun bisa menulis di akar pohon. Entah bunyi tulisan itu, tetapi jelas ada goresan hitam di sana. Coretan yang tak terbaca, tetapi membuat Harun melonjak-lonjak senang. Semua memperhatikan aku, pikirnya.
    “Ikal, Syahdan!” Bu Mus memanggil dari arah ruang guru.
    Ikal dan Syahdan kembali berpandangan. Tugas mengambil kapur!
    “Ayahanda Guru, tak adekah cara lain untuk Ibunda Guru menulis? Aku tak hendak pergi ke toko kapur itu,” keluh Ikal saat bertemu Pak Harfan di ruang guru.
    “Kenapa kau, Ikal?” tanya Pak Harfan heran.
    “Tak ape, Ayahanda.”
    “Ayahanda, tadi Harun bisa menulis dengan bongkahan arang,” kata Ikal. “Tak bisakah arang dipakai Ibunda Guru di kelas?”
    “Ha ... ha ... ha ..., Ikal. Kau memang banyak akal. Dengarkan cerita Ayahanda, Nak,” kata Pak Harfan sambil tergelak.
    “Zaman dulu, orang-orang menulis di dinding gua menggunakan kayu yang telah dibakar hingga hangus dan menjadi arang. Namun, saat dinding sudah penuh ditulisi mereka tak dapat menulis lagi. Tulisan dan gambar tadi tak bisa dihapus!"
    "Lalu, mereka menggambar di batu besar. Saat hujan turun, tulisan itu hilang! Berarti mereka harus menunggu hujan berhenti agar batu atau dinding menjadi kering. Barulah mereka bisa menulis kembali.”

    “Kemudian, secara tak sengaja, orang-orang menemukan batu berwarna putih yang empuk dan mudah digoreskan. Batu kapur namanya. Mereka mencoba menulis di atas batu. Lalu, tak sengaja mereka mengusap tulisannya."
    "Hei, tulisan itu bisa hilang! Ditulis lagi, diusap lagi, terus berulang-ulang. Nah

In Regalen

fb2epub
Ziehen Sie Ihre Dateien herüber (nicht mehr als fünf auf einmal)